Kulik Kuliner di Restaurant Semarang

20 tahun silam pertama kali saya menginjakkan kaki di Kota Semarang.

20 tahun silam saat saya pertama kali mencicipi salah satu kuliner khas Semarang, Lumpia Semarang.

20 tahun silam saya berjanji tidak akan pernah menyentuh kembali penganan berisikan rebung ini.

Rebung in membuat saya anti terhadap Lumpia Semarang. Aroma rebung yang menyengat dan bahkan (maaf) berbau pesing menurut saya berhasil membuat saya untuk menjaga jarak bahkan sedikit bermusuhan dengan Lumpia Semarang.

Pertemuan dengan Bapak Yongki Tio kali ini “memaksa” saya untuk kembali bertatap muka dengan Lumpia Semarang.

Bapak Yongki Tio adalah pemilik Restaurant Semarang yang menyajikan hidangan-hidangan lokal. Yang menarik, Bapak Yongki Tio bertekad untuk menaikkan derajat hidangan lokal atau “kampung” ini.

Menurut beliau, tampilan dan cara penyajian dapat membuat hidangan kampung ini menjadi hidangan berkelas. Selain tekadnya, beliau juga tidak main-main dengan dunia kuliner. Bukan hanya rasa dan tampilan, sejarah suatu hidangan pun dapat Pak Yongki ceritakan dengan detail.

Tak disangka, musuh saya, Lumpia Semarang memiliki sejarah yang menarik hingga kini menjadi salah satu kuliner khas Semarang.

Makanan di Restaurant Semarang
Menaikkan kelas makanan “kampung” dengan penyajian berkelas

 

Lumpia Semarang, Indah Percintaan dua Suku Bangsa

Dahulu saat abad 19, Seorang Tjoa Thay Joe memutuskan untuk menetap dan mengelola usaha kulinernya di Semarang. Penganannya berisikan daging babi dan rebung. Karena beliau berjualan di wilayah yang mayoritas tidak mengonsumsi babi, dagangan Tjoa Thay Joe selalu tersisa.

Adalah Mba Warsih, wanita asli penduduk setempat yang berjualan penganan hampir serupa dengan Tjoa Thay Joe. Dagangan Mba Warsih selalu laris terjual setiap harinya. Keadaan ini tidak membuat Tjoa Thay Joe iri akan Mba Warsih, justru tumbuh rasa cinta di antara mereka berdua hingga akhirnya menikah.

Lumpia Semarang
Lumpia Gang Lombok, lumpia basah dan lumpia goreng (Foto by: Efenerr)

Setelah menikah mereka memadukan penganannya, isian daging babi diganti dengan ayam atau udang dan tetap berisikan rebung dibalut dengan kulit lumpia. Inilah cikal bakal dari Lumpia Semarang yang melegenda hingga kini.

Keturunan dari Tjoa Thay Joe dan Mba Warsih bahkan masih meneruskan warisan lumpianya di Jalan Pemuda, Gang Lombok dan di Mataram.

Kisah manis yang dituturkan Bapak Yongki Tio menggoda saya untuk kembali ber”tegur sapa” dengan Lumpia Semarang. Dan memang siang itu akhirnya saya mencicipi Lumpia Semarang setelah perang dingin selama 20 tahun.

Mungkin saya harus menyalahkan penjual lumpia di pinggir jalan 20 tahun silam, karena lumpia yang saya cicipi di Restaurant Semarang rasanya nikmat luar biasa. Tak tercium bau pesing menyengat. Renyah di luar gurih di dalamnya.

Kuncinya adalah saat mengolah rebung yang harus dicuci dengan bersih berulang kali untuk menghilangkan bau pesingnya. Percintaan Tjia Thay Joe dan Mba Warsih akhirnya membuat saya kembali bersahabat dengan Lumpia Semarang.

 

Lontong Cap Go Meh, Indah Persaudaraan dua Suku Bangsa

Seorang Babah-lah yang menciptakan kuliner kaya rasa khas Semarang ini.

Lontong Cap Go Meh awalnya adalah hantaran yang dibagikan kepada tetangga-tetangga sang Babah saat merayakan Cap Go Meh (hari ke 15 setelah Imlek). Maksud hati Babah untuk membalas kebaikan hati warga yang sering menghantarkan Ketupat saat Idul Fitri tiba.

Dengan sedikit bereksperimen, Babah menciptakan lontong dari bahan dasar yang sama dengan ketupat. Hanya saja dipilih bentuk bulat memanjang sebagai simbol dari bulan purnama dan rejeki yang tak putus.

Lontong Cap Go Meh Restaurant Semarang
Lontong Cap Go Meh dengan 12 varian makanan

Lontong Cap Go Meh sendiri berisi 12 jenis makanan yang menurut Bapak Yongki harus dicampur semuanya agar mendapatkan ledakan rasa yang nikmat. Kini mungkin hanya Restaurant Semarang yang masih menyajikan Lontong Cap Go Meh dengan 12 varian makanan.

Tak berlebihan jika Lontong Cap Go Meh menggambarkan indahnya perbedaan yang melebur, rasa persaudaraan antara Babah dan warga muslim yang harus kita terapkan hingga kini.

Berterima kasihlah saya kepada Bapak Yongki Tio, telah mendamaikan saya dengan Lumpia Semarang dan berbagi sejarah indah tentang Lontong Cap Go Meh. Pun saya merasa tersanjung dapat mendengarkan dan bertemu langsung dengan beliau, seorang tokoh yang sangat mengenal sejarah Semarang. Sosok kebapakan yang terus tersenyum ceria melihat tingkah polah kami.

Outdoor Restaurant Semarang
Area outdoor Restaurant Semarang
Makan siang bersama Travel Bloggers Indonesia
Makan siang bersama Travel Bloggers dan panitia

***

Catatan C4ME:

Tulisan ini sebagai bagian dari kegiatan FamTrip yang diadakan oleh Badan Promosi Pariwisata Kota Semarang (BP2KS) dalam rangka mengangkat potensi wisata di Kota Semarang. Tanggal 6-8 Mei 2016 adalah suatu kebanggaan untuk saya karena ikut serta menjadikan #SemarangHebat menjadi trending topic. Terima kasih Semarang, terima kasih Bapak Hendrar Prihadi, terima kasih BP2KS.

Baca juga cerita lainnya:

Travel Blogger Indonesia di Restaurant Semarang
Bloggers se-Indonesia bersama Bapak Yongki Tio di Restaurant Semarang (Foto by: Bobby Ertanto—virustraveling.com)

Restaurant Semarang
Jalan Gajah Mada 125, Semarang
Telp: 024-831 014 0

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
2 Responses
  1. Gio | Disgiovery

    Kak Leo, kusuka tulisannya cerdas bernas, serenyah rebung yang kini sudah bukan musuhmu lagi, hahaha! *kasih jempol

Leave a Reply