6 Situs Mengenang Maha Dahsyat Tsunami Aceh

Teriakan Allahu Akbar berkali-kali berkumandang bercampur kalut saat saya menatap layar kaca di hari
Minggu pagi. Rekaman video amatir yang diputar berulang kali menggambarkan betapa dahsyatnya sapu gelombang yang tumpah menggenangi Serambi Mekkah. Minggu pagi yang tenang sehari selepas Natal seketika menjadi pagi yang mencekam. Saya berada jauh di Ibukota saat masyarakat Aceh luluh lantak tersapu gelombang tsunami namun teriakan Allah maha besar yang bersahutan dengan jerit dan tangis ketakutan yang tergambar di layar kaca mampu menggiring saya merasakan duka dan putus asa di sana.

12 tahun berlalu, kini wajah Aceh telah berubah. Berubah dalam artian sesungguhnya secara geografis. Wilayah yang tadinya perairan kini berganti menjadi daratan. Pun sebaliknya dengan daratan yang terkikis kini menjadi perairan. 12 tahun berselang saya baru berkesempatan untuk mengunjungi Aceh, salah satu wilayah yang sangat ingin saya kunjungi. Selain karena Pulau Weh dengan titik 0 kilometernya, tentunya untuk mengenang kejadian 26 Desember 2004 lalu.

Aceh luluh lantak
Sambil berbisik pelan, pengemudi sekaligus pemandu saya berkata
“Di sebelah kiri ini adalah kuburan massal”
Seketika tubuh saya meremang, bukan karena hal mistis tapi lebih kepada duka mendalam yang tiba-tiba menyelimuti. Bencana kemanusiaan terbesar ini menelan korban hingga 200.000 jiwa. Kuburan massal ini diperuntukkan bagi korban yang sudah tidak dapat diidentifikasi dan sudah tidak memiliki sanak keluarga. 
Bentuk kuburan massal ini pun jauh dari wajah menyeramkan. Sekilas hanya terlihat seperti taman kota dengan pagar yang tertutup rapat dikelilingi tembok putih bersih, namun ternyata di bawah hamparan rumput menghijau ini adalah tempat peristirahatan terakhir yang layak bagi para korban tsunami.

Bencana kemanusiaan terbesar abad ini

Perjalanan saya baru saja mulai setelah sejenak meninggikan doa untuk korban tsunami. Tak terhitung banyaknya situs bersejarah yang kini dijadikan lokasi untuk mengenang dahsyatnya kuasa Sang Pencipta. Beruntungnya saya bisa menyaksikan 6 situs untuk mengenang tsunami Aceh 12 tahun silam. 

Masjid Raya Baiturrahman 
Banyak bangunan masjid yang tetap berdiri kokoh walaupun diterjang gelombang setinggi puluhan meter. Kuasa Allah yang mampu menjaga rumah-Nya tetap berdiri kokoh bahkan menjadi tempat perlindungan bagi warga sekitar. Saat tsunami terjadi, bangunan disekitar masjid hancur terseret gelombang, bahkan menyisakan ratusan mayat yang bergelimpangan di halaman masjid. Di dalam masjid sendiri air menggenang hingga ketinggian 2 meter. Saat air surut, ratusan jenazah korban tsunami dipindahkan ke bagian dalam masjid untuk menunggu identifikasi.

Masjid Raya Baiturrahman

Masjid Raya Baiturrahman saat ini sedang mengalami proses renovasi. Nantinya akan berdiri payung-payung elektrik serupa di Masjid Nabawi untuk menambah kenyamanan umat beribadat dan turis-turis yang ingin mengenang duka tsunami di Masjid Raya. 

Masjid Rahmattullah Lampuuk 
Hanya berjarak 500 meter dari tepi pantai namun masjid ini bergeming menghadapi gelombang. Sebuah foto udara mengabadikan kondisi sekitar masjid yang rata dengan tanah sejenak setelah gelombang mengamuk. Ribuan jiwa tak terselamatkan dari pemukiman warga yang terletak di sekeliling masjid. Diduga saat tsunami menerjang Masjid Rahmatullah tenggelam sepenuhnya, terlihat dari lambang bulan bintang di kubah masjid yang terlihat sedikit miring dan masih dibiarkan hingga sekarang sebagai peringatan akan tsunami.

Penggambaran sesaat setelah tsunami, Masjid Rahmatullah tetap berdiri kokoh

Tak hanya itu, menurut teman-teman muslim, karena saya yang non muslim belum diperbolehkan untuk masuk, di sisi belakang masjid masih terdapat reruntuhan masjid termasuk batu karang dan pasir laut yang tersapu ke dalam masjid. Tiang masjid pun dibiarkan seperti adanya. Area ini dibatasi dinding kaca sebagai monumen kecil mengenang tsunami. Masjid Rahmatullah kini selalu dibersihkan dan dicat secara berkala, putih bersih berdiri di tengah hamparan rumput menghijau.

Kubah Masjid Al-Tsunami 
Sebuah kubah masjid berukuran 4×4 dengan berat hampir 20 ton kini terduduk di tengah persawahan berlatar bukit menghijau. Desa Gurah termasuk salah satu desa yang hancur rata dengan tanah saat tsunami menerjang. Kubah masjid yang aslinya berasal dari bangunan Masjid Lamteungoh yang berjarak 2.5 Km dari lokasi kubah saat ini terbawa kuatnya arus tsunami. Beberapa warga sempat menyaksikan saat kubah masjid ini terombang-ambing dan berputar-putar seakan mencari dudukan yang tepat. Konon pula saat kubah ini ditemukan, ada 7 orang di dalamnya yang terselamatkan.

Kubah Al Tsunami

Kini kondisi kubah sudah dikelilingi pagar. Selain itu terdapat rumah panggung di sisi kiri sebagai tempat peristirahatan serta galeri foto saat kubah masih menjadi masjid utuh dan saat kubah ditemukan pertama kali di Desa Gurah bersamaan dengan puing-puing dan jenazah yang terbawa arus. 

Rumah Perahu Lampulo 
Bukti bahwa kepedulian terhadap sesama justru menjadi penyelamat. Saat seluruh rumah menutup rapat pintu, keluarga Ibu Abasiah justru membuka pintu untuk orang-orang yang kalut mencari selamat. Rumah Ibu Abasiah yang berlantai 2 menjadi pelarian sementara saat air semakin meninggi dan hampir menenggelamkan keluarga dan para pengungsi di lantai 2. Ajaibnya, perahu nelayan yang berasal dari pelabuhan Lampulo berjarak 1 kilometer dari pemukiman warga terbawa arus hingga medekat ke rumah Ibu Abasiah. Terhitung 59 nyawa terselamatkan dengan menumpang kapal ini saat hampir seluruhnya tetangga Ibu Abasiah termakan amukan gelombang tsunami. Perahu ini sempat terombang-ambing arus hingga akhirnya kembali tersangkut di atap rumah Ibu Abasiah.
Keluarga Abasiah kini menetap di Medan dan menghibahkan tanahnya sebagai monumen untuk mengenang kedahsyatan tsunami.  

Rumah perahu

PLTD Apung 
Mungkin ini bukti paling nyata yang bisa menggambarkan maha dahsyatnya gelombang tsunami saat itu. Kapal pembangkit listrik yang tertambat di perairian Ulee Lheue seberat 2600 ton terseret gelombang sejauh 5 km ke tengah kota Aceh. Kapal sepanjang 63 meter kini tertambat di tengah pemukiman warga. Saat ditemukan, hanya ada 1 orang selamat dari 11 awak tugas yang berada di kapal. Di dekat pintu masuk terdapat monumen yang menunjukkan waktu terjadinya tsunami dan nama-nama korban yang berhasil diidentifikasi. Dibagian halaman terdapat ramp kayu yang dibuat bergelombang menggambarkan pasang surutnya air laut. Sayangnya saat saya berkunjung, bagian dalam kapal yang dialih fungsikan menjadi ruang dokumentasi dalam kondisi tutup.

PLTD Apung

Berada di dek tertinggi kapal ini kita bisa melihat jajaran bukit barisan dan sebagian reruntuhan rumah penduduk di dalam kompleks PLTD Apung yang dibiarkan sebagai bukti sejarah. Seketika saya terkesiap saat menyadari ada puluhan rumah yang tertimbun oleh kapal PLTD Apung ini, dan ya…di bawah kapal ini adalah kuburan massal bagi warga yang tak sempat menyelamatkan diri saat kapal raksaksa ini menimpa pemukiman penduduk.  

Tugu peringatan waktu dan nama korban tsunami

Museum Tsunami 
Karya jenius Ridwan Kamil yang resmi dibuka tahun 2009 ini bukan hanya sebagai museum tapi juga sebagai bahtera evakuasi saat entah kapan tsunami menerjang kembali. Museum ini benar-benar digagas dengan konsep yang matang. Sejak masuk, pengunjung akan diberikan gambaran tentang situasi saat tsunami terjadi. Lorong gelap dan suara deburan air menjadi pintu masuk mengantar ke ruang kenangan yang dikondisikan dingin dan suram. Sumur doa untuk mengenang korban tsunami lalu berlanjut ke lorong berputar yang menggambarkan kebingungan warga Aceh setelah tsunami menerjang. Diakhiri dengan jembatan terang sebagai simbol atas bantuan dari 54 negara sebagai titik terang untuk warga Aceh.

Sumur doa
Jembatan harapan

Di lantai atas museum ini terdapat diorama Aceh saat diterjang tsunami, foto-foto dan informasi tentang bencana tsunami serta tindakan pertama saat terjadi tsunami. Dan jangan lewatkan bioskop mini yang mendokumentasikan saat dan setelah tsunami terjadi.

12 tahun sudah kini Aceh sudah berbenah diri, dibalik duka mendalam tak sedikit warga Aceh yang memandangnya secara positif. Banyak warga menganggap bahwa tsunami adalah teguran dari Maha Kuasa agar lebih dekat dengan-Nya. Beberapa yang selamat mengaku kini lebih taat beribadah. Yang terpenting adalah, saat bencana kemanusian terbesar abad ini terjadi, tak pandang warna kulit, tak pandang suku dan tak pandang ajaran apa yang kau anut, manusia berdampingan saling membantu dan menguatkan. 
12 tahun berlalu, manusia kembali mengkotak-kotakkan diri. Apakah harus terjadi kehancuran maha dahsyat lain lagi agar manusia dapat hidup berdampingan dengan rukun dan saling mengasihi?

Jalan-Jalan Jeprat-Jepret

Catatan C4ME: 
1. Lokasi-lokasi diatas tidak memungut bayaran hanya berdasarkan sukarela pengunjung. Kecuali Museum Tsunami yang menetapkan biaya masuk
2. Semua lokasi ini dapat ditempuh dalam waktu 1 hari
3. Saat berkunjung ke Aceh, perhatikan jadwal-jadwal sholat karena kegiatan akan terhenti saat waktu sholat berlangsung   

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
8 Responses
  1. Dandy Siswandy

    ini kejadian yang tidak akan terlupakan untuk indonesia… musibah yang sangat amat luar biasa terjadi saat itu… sedih kalo dikenang kenang lagi 🙁

    1. Anthony Leonard

      Tanpa bermaksud membuka luka lagi mas, tapi memang situs2 ini ditujukan untuk mengingatkan manusia ttg Yang Maha Kuasa dan ngambil positifnya dari musibah yang terjadi 🙂

      terima kasih sudah berkunjung ke blog saya

  2. Endah Kurnia Wirawati

    saya merinding tuh waktu masuk museum tsunami di bagian yang tercantum nama2 korban..
    Terharu, sedih, ngeri, semuanya bercampur jadi satu

  3. Sandi Iswahyudi

    keren mas, saya ingin yang ke museum aceh, supaya bisa ikut merasakan dan dapatkan hikmah dari kejadian di tsunami kemarin. keren, kalau tak lihat dari foto yg mas hasilkan

Leave a Reply