Pembantaian Masal Diterangi Cahaya Surga di Goa Jomblang Gunung Kidul

Lubang menganga berdiameter 50 meter menyambut saya begituĀ  tiba di kawasan Goa Jomblang Gunung Kidul. Saya sendiri cukup kaget karena tidak menyangka lubangnya akan sebesar ini. Teriakan teman-teman membuat saya terkikik sendiri, “Leooo, gila ya ajak gw ke tempat begini”. “Leooo, tanggung jawab ya kalo gw kenapa-kenapa”.

Tapi saya melihat muka-muka penasaran “ada apa di bawah sana?” dibalik celotehan khawatir mereka.

Datang lebih awal untuk melihat pergerakan cahaya
Datang lebih awal untuk melihat pergerakan cahaya
Setelah menempuh hampir 2 jam dari pusat kota Jogja menuju Gunung Kidul, tidak terlalu sulit untuk menemukan Goa Jomblang Gunung Kidul karena cukup banyak papan petunjuk ditempatkan di setiap belokan. Yang agak sulit mungkin untuk bermanuver di jalanan yang sempit dan sedikit rusak. Kenapa tidak di aspal? Pengelola memang sengaja membiarkan kondisi alam sekitar tetap alami, bukan hanya akses saja tapi banyak hal lain yang tetap di biarkan “sederhana” tanpa tersentuh modernisasi.
Cahaya surga
Cahaya surga
Kami ber-6 adalah rombongan pertama yang tiba di kantor Goa Jomblang Gunung Kidul. Ada baiknya sebelum berkunjung kita melakukan pemesanan karena kuota pengunjung 1 harinya hanya dibatasi sekitar 20 sampai 25 orang. Mas Budi yang menyambut kami menjelaskan karena pengunjung yang terlalu ramai dikhawatirkan dapat merusak kondisi alam di dalam goa. Hari itu total pengunjung yang masuk adalah 11 orang, kami ber-6 bersama dengan 5 turis asing yang cukup beruntung masih mendapat kuota untuk turun ke Goa Jomblang Gunung Kidul.
Luweng Grubug dengan cahaya surga
Luweng Grubug dengan cahaya surga
Setelah menggunakan sepatu boot, harnes dan helm (perlengkapan wajib turun Jomblang) kami siap di turunkan 60 meter ke dasar goa menggunakan teknik Single Rope Technic. Kita tinggal duduk manis ( 1 kali turun 2 orang) dan berterimakasih-lah kepada bapak-bapak berbadan besar yang menurunkan kita dengan cara manual. Pengelola sepakat tidak menggunakan mesin karena tetap ingin mengkaryakan penduduk setempat dan menghindari kerusakan mesin yang lebih sulit diatasi. Yang paling mendebarkan
mungkin saat pertama kali kita harus melepaskan tangan dari tiang dan berayun ke tengah untuk diturunkan, karena saat itu nyawa kita sepenuhnya bergantung pada kuatnya bapak-bapak dan seutas tali.
Turun menembus hutan purbakala
Turun menembus hutan purbakala
Pemandangan saat menggantung-gantung di ketinggian cukup menarik karena kadang kita harus melintas di antara ranting atau dahan pohon, karena lubang mengangga ini tercipta dari amblasnya dataran di atas sehingga beberapa tumbuhan ikut amblas dan tumbuh di dasar gua. Menurut Pak Gatot, pemandu yang ikut turun bersama kami, tumbuhan di dasar gua ini adalah tumbuhan purba yang tidak dapat ditemukan di mana pun dan tidak terdeteksi jenisnya karena berasal dari jutaan tahun silam. Mungkinkah tiba-tiba ada T-rex muncul dari dalam gua?
Setelah tiba di dasar Goa Jomblang Gunung Kidul kami masih harus menyusur di dalam goa menuju Luweng Grubug. Selama perjalanan, terhitung sekitar 3 atau 4 lampu disebar sepanjang 250 meter hanya untuk penanda jalan, bukan sebagai penerangan (lagi-lagi supaya unsur alaminya tetap terjaga). Hanya butuh waktu sekitar 15 menit untuk mendengar bunyi gemuruh air dan melihat seberkas cahaya terang. Di depan saya terpampang pilar cahaya yang masuk menembus dari Luweng Grubug. Rasanya sedikit tidak percaya dikedalaman 90 meter di bawah tanah ada kubah seperti Katedral dengan cahaya yang sangat indah. Suara gemuruh sungai bawah tanah terdengar jauh di bawah kami menimbulkan gema yang memantul di dinding-dinding goa. Perhatikan juga saat ada daun-daun yang jatuh dari mulut Luweng Grubug.

Di sisi kanan terdapat 2 batu yang tercipta dari tetesan air yang merembes dari dinding-dinding gua. Yang
satu berbentuk seperti jamur, yang satu lagi memilik tekstur seperti otak. Pak Gatot berkali-kali mewanti-wanti kami untuk tidak berfoto di atas batu, menginjak ataupun memukul batu tersebut. Menurut beliau, batuan dengan tekstur unik ini tercipta ratusan tahun lalu dan untuk membuat satu motif garis sepanjang
1 cm saja butuh waktu sekitar 2 sampai 3 tahun. Kami melihat sendiri betapa pedulinya Pak Gatot saat mendapati salah satu turis menginjak batu, beliau spontan berteriak melarang, mendekati batu dan langsung membersihkan batu dengan tangannya. Kembali beliau berpesan untuk menjaga alam agar tidak terjadi kejadian yang tidak diinginkan.

Pak Gatot bercerita, dulu di tahun 1983, Jomblang pernah sepenuhnya terendam air karena luapan aliran sungai bawah tanah dan tingginya curah hujan. Tahun 2013, kejadian tersebut terulang karena aliran sungai yang tersumbat sampah, walaupun tidak separah tahun ’83, luapan di tahun 2013 sampai menutupi kedua batu kesayangan pak Gatot dengan lumpur. Selain itu Pak Gatot juga sempat bercerita khusus kepada saya setelah sedikit berbisik saya bertanya tentang kelamnya cerita Jomblang jaman dahulu. Dulu,
tepat di tempat kita menatap indahnya cahaya surga di Luweng Grubug adalah tempat eksekusi pemberontak G30-S/PKI. Mereka dieksekusi dengan cara di dorong ke aliran sungai bawah tanah di bawah yang nanti mayatnya jika masih utuh akan muncul di pantai Baron Gunung Kidul. Eksekusi jenis ini masih dilaksanakan hingga tahun 1982 untuk menghilangkan nyawa pelaku kriminal kelas kakap.
Kabarnya mantan napi AM dan JI merupakan nama-nama yang tadinya sempat akan dieksekusi di sini. (Silahkan cari sendiri insial diatas tapi jangan cari di daftar mucikari RA)
Aliran sungai bawah tanah
Aliran sungai bawah tanah
Saran dari saya bagi yang ingin ke Jomblang, ada baiknya memperhatikan cuaca karena buat apa turun ke bawah saat cuaca mendung dan tidak bisa menyaksikan “cahaya surga” di Luweng Grubug. Waktu kunjungan Jomblang hanya dari pukul 10.00-13.00 WIB dengan kuota 25 orang sekali kunjungan, disarankan untuk memesan tempat terlebih dahulu. Yang terakhir jangan sarapan terlalu banyak sebelum turun ke Jomblang, bukan karena mual saat menggantung di ketinggian, tapi pikirkan betapa susahnya
bapak-bapak di atas saat harus menahan beban orang yang sedang kekenyangan.
Jalan-jalan jeprat-jepret
Jalan-jalan jeprat-jepret
Jomblang yang awalnya menakutkan untuk teman-teman saya, pada akhirnya mereka mengakui bahwa pengalaman pertama dan mungkin sekali seumur hidup mereka menggantung di ketinggian 60 meter terbayarkan dengan indahnya pemandangan di dalam Luweng Grubug. Rasa takut, cemas, semua hilang begitu disuguhkan pilar cahaya berselimut kabut uap air yang naik dari aliran sungai bawah tanah. Begitu tiba di atas mereka berceloteh
tentang indahnya goa dan kekaguman mereka. Spontan saya timpali “tau gak kalo tempat tadi kita berdiri
itu adalah tempat membunuh ormas-ormas G30-S/PKI”
Lalu disambut dengan teriakan satu suara “Leooo, lu ngapain ajak gw ke tempat pembunuhan masssaaaal??”
Untuk informasi lebih lanjut silahkan menghubungi
Pak Cahyo Alkantana : +62 811 117 010 (Selaku pemilik lahan Goa Jomblang Gunung Kidul)

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
11 Responses
  1. Fahmi

    Aku dan putri waktu itu juga dilarang sama guidenya naik ke batu… tapi kok sering liat banyak yg foto disitu yak. bandel ih -,-

    1. Anthony Leonard

      Kayanya itu jaman dulu sebelum dikelola secara profesional kak kucing. Skrg semua pemandu pasti nga memperbolehkan utk naik ke atas batu2 itu

Leave a Reply