Atas Bawah Indah di Pulau Kelor

Tali tambang yang tertambat di pelabuhan telah dilepaskan oleh salah satu ABK yang kelak akan kami panggil Bang Junot (entah siapa yang memulai namun katanya wajah si abang mirip dengan Herjunot Ali). Dua Pemuda asli Flores (Bang Junot dan Bang Ardiansyah) dan seorang bapak yang hanya nampak ketika jam makan tiba untuk menyajikan makanan berkelas restauran dengan rasa yang sungguh nikmat lalu selebihnya entah beliau ada di mana (semacam peri penolong yang hadir dikala kami lapar), pada merekalah kami bergantung hidup selama 3 hari kami live on board.

Sepuluh menit setelah meninggalkan pelabuhan, tak satupun dari kami yang tidak terpesona oleh keindahan pesona perairan di wilayah Kepulauan Komodo ini. Laut yang tenang dibentengi dengan bukit-bukit kecil menyembul di tengah laut menjadi primadona bidikan lensa kamera kami. 20 menit berselang kami mulai terbiasa dan mengacuhkan bukit-bukit yang “melambai” di kiri kanan kami. Bukan karena pemandangannya tidak menarik, tapi kami berusaha untuk menghemat rasa kagum kami agar tidak habis di awal perjalanan :p

Pulau Kelor Labuan Bajo
Pulau Kelor, Labuan Bajo

Sekitar 1 jam perjalanan dari Labuan Bajo, kami merapat di pulau singgah pertama kami, Pulau Kelor. Jangan samakan dengan Pulau Kelor di Kepulauan Seribu yang berbentuk landai dengan benteng tua di tengahnya. Pulau Kelor di gugusan Kepulauan Komodo ini memiliki bibir pantai yang cukup landai dengan pasir putih dan bukit menjulang di tengah pulau yang menggoda untuk didaki. Belum kami menjejakan kaki di pasir Pulau Kelor, kami sudah dibuat terpesona dengan jernihnya air di Pulau Kelor.

Pantai di Pulau Kelor
Pantai di Pulau Kelor

Bukit yang tidak terlalu tinggi ini menjadi tujuan utama kami sebelum kami bermain air di pulau Kelor. Tanpa ada perasaan apapun atau malah mungkin sedikit menganggap remeh untuk trekking di bukit Pulau Kelor ini.

Saat mendekat di kaki bukit, jangan mengharapkan undakan atau tangga. Bukit ini hanya memiliki jalan setapak dengan kemiringan lebih dari 45 derajat. Saat mencapai puncak kemiringan akan semakin bertambah, kami memberikan istilah “cium lutut” karena memang kondisi saat kami melangkah, paha kami berhimpit dengan perut dan posisi lutut hampir menyentuh mulut.

Seketika saya iri dengan teman-teman ber-body “triplek” yang dengan mudahnya menempelkan paha di perutnya. Apa kabar yang ber-body seperti “karung semen”? Walaupun tak sampai 30 menit mencapai puncak, tapi cukup membuat saya berharap kalau tiba-tiba ada Bapak penambang belerang Ijen yang melintas dan bersedia mengangkat saya ke atas puncak Bukit Kelor.

Dari atas bukit Pulau Kelor
Dari atas bukit Pulau Kelor

Dari salah satu blog yang saya baca, ada yang menyarankan untuk tidak mendaki bukit ini karena menurut
“orang yang tidak perlu disebut blognya”, pemandangan di atas biasa aja. Entahlah mungkin orang tersebut terbiasa melihat pohon beton atau merasa sakit hati dan dendam dengan rute pendakian sehingga melihat semua dari sisi negatif. Pemandangannya biasa aja situ selfie di atas gimana pemandangannya luar biasa, terjun bebaskah Anda?

Kalau saya berpendapat, susah-susahlah kalian mendaki karena pemandangan di atas Bukit Kelor itu tiada duanya. Perjuangan menciumi lutut itu sebanding dengan pemandangan pantai jernih puluhan meter di bawah yang berbatasan langsung dengan gugusan pulau-pulau di perairan Kepulauan Komodo.

Menuruni bukit Pulau Kelor
Menuruni bukit Pulau Kelor

Untuk kembali ke bawah bukan berarti mudah. Menahan badan agar tidak terguling dari ketinggian cukup melelahkan yang akhirnya menyebabkan beberapa dari kami bertransformasi menjadi Suster Ngesot. Rasanya lebih aman untuk duduk, merelakan celana kotor dan bokong sedikit nyeri berbenturan dengan jalan setapak berpasir dan berbatu dibanding berdiri di kemiringan 45 derajat tanpa berpegang pada apapun.

Keindahan bawah laut Pulau Kelor
Keindahan bawah laut Pulau Kelor
Bawah laut Pualu Kelor
Bawah laut Pualu Kelor

Sesampainya di bawah, sebelum meninggalkan Pulau Kelor, kami sempat “mendinginkan” badan setelah berpanas-panas ria di atas bukit. Air berwarna biru jernih dan ternyata cukup sejuk itu menyapu kaki kami mengajak kami untuk menikmati keindahan bawah laut Pulau Kelor.

Walaupun di kedalaman tak sampai 2 meter, terumbu dan ikan-ikan di Pulau Kelor ternyata cukup beragam. Bahkan kami sempat mengabadikan ikan-ikan Badut atau yang lebih terkenal dengan nama Nemo. Jangan lupakan pula kehadiran ikan kakak tua yang cukup usil “menyapa” kami dengan cara menggigit, memang tidak sampai menyebabkan berdarah tapi cukup membuat kami kaget setiap kali ada cubitan kecil di betis kami.

Ikan Nemo di Pulau Kelor
Ikan Nemo di Pulau Kelor
Ikan 'kakak tua' di Pulau Kelor
Oknum yang suka “menyapa” nakal.

Teriakan Bang Junot memanggil kami untuk segera beranjak dari keindahan Pulau Kelor. Begitu tiba di kapal, dimeja kami sudah terhidang santap siang menggugah selera yang tentu saja disajikan oleh Bapak peri penolong yang telah menghilang entah kemana.

Jalan jalan Jeprat jepret di Pulau Kelor
Jalan jalan Jeprat jepret di Pulau Kelor

Ahhh…awal yang indah di perjalanan kami mengarungi pulau-pulau lainnya di perairan Kepulauan Komodo.

Baca juga: Ujung perjalanan kami di Pulau Kanawa

***

Ashadi Trip
Telp : 0899 7888 584 / 0812 2072 721
Instagram : @ashadinatha

Enterpreneur, Travel Blogger, Instagramer, Hotel & Resto Reviewer, Fuji Film User.
2 Responses
  1. Anis Hidayah

    Pemandangannya seperti itu kok di bilang biasa – biasa aja tow mbak (oleh blog lain),,, dari fotonya saja sudah membuat saya berimajinasi,,, hehehe

Leave a Reply